Hanya sebidang tembok yang tersisa dari rumah Multatuli. Sekelompok arsitek berupaya merekonstruksinya. Minim kepedulian. Saling menunggu |
RUMAH itu berdiri agak tersembunyi di balik bangunan baru Rumah Sakit Umum Dr Adjidarmo, Rangkasbitung, Kabupaten Lebak, Banten. Rerumputan tumbuh liar di halaman. Lantai berdebu, kaca nako merosot hampir lepas dari jepit penyangganya, meja-kursi yang tergeletak tak beraturan menambah kusam penampilan rumah. Rumah itu pun lebih menyerupai kantor yang lama tak digunakan ketimbang bekas kediaman asisten residen yang namanya terkenal ke seantero jagat: Eduard Douwes Dekker alias Multatuli.
Kecuali sebidang tembok tua selebar kira-kira enam meter setinggi lima meter yang masih berdiri tegak ditambah batu bata merah berukuran 30 x 8 sentimeter menyembul pada pelur geligir atas yang rompal, tak lagi tanda-tanda guratan kisah masa lalu pada rumah itu. Genteng, tegel, kaca, kusen, daun pintu dan jendela bukan datang dari zaman saat Bupati Raden Adipati Karta Natanagara berkuasa di Lebak. Paling lama berusia setengah abad. “Kemungkinan besar bangunan asli sudah tak ada lagi,” kata Bambang Eryudhawan, arsitek dari Pusat Dokumentasi Arsitektur Indonesia.
Eduard Douwes Dekker, bekas penghuni rumah itu, diangkat sebagai asisten residen Lebak pada 4 Januari 1856. Pemuda Belanda berusia 35 tahun itu mulai bertugas di Lebak sejak 22 Januari 1856 dan berhenti dua bulan setengah kemudian. Fisik bangunan rumah yang ditempatinya diyakini sudah punah, apalagi jika rumah yang pernah ditempati Dekker itu terbuat dari kayu.
“Ada informasi kalau dulu rumahnya panggung dan dibuat dari kayu. Cukup sulit merekonstruksi bangunannya, kecuali membongkar rumah dan melihat pondasinya. Itu pun masih diragukan. Tapi kami siap membantu merealisasikan gagasan pembangunan rumah Multatuli itu,” ujar Eryudhawan.
Pemerintah Daerah Lebak telah mengizinkan rencana rekonstruksi ulang rumah Multatuli. Wakil Bupati Lebak Amir Hamzah mengatakan pemerintah Lebak menyambut baik upaya pihak Pusat Dokumentasi Arsitektur Indonesia dan pemerintah Belanda yang berencana merekonstruksi rumah Multatuli. Namun demikian Amir mengatakan Pemda Lebak belum bisa turut mendukung pendanaan pembangunan ulang rumah bersejarah itu.
“Kami mendukung upaya pembangunan kembali rumah Multatuli, tapi kami belum bisa mendukung pendanaannya karena prioritas anggaran dana belum ada untuk kegiatan itu, kami menunggu kepastian dari pihak Pemerintah Belanda,” kata Amir.
Diskusi pembangunan ulang rumah Multatuli di Lebak memang telah lama berlangsung dan melibatkan beberapa pihak, termasuk Kedutaan Besar Belanda di Jakarta. Pada 2006 lampau Menteri Pendidikan, Kebudayaan, dan Ilmu Pengetahuan Belanda Maria JA van der Hoeven yang mengunjungi situs rumah Mutatuli di Rangkasbitung berjanji akan mendukung pendanaan pembangunan memorial di atas rumah tersebut.
Sementara itu Kepala Bagian Pers dan Kebudayaan Kedutaan Besar Kerajaan Belanda di Jakarta Paul Peters mengatakan pemerintah Belanda mendukung upaya pembangunan setelah ada hasil riset dari Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Provinsi Banten di Serang. Hasil riset itu untuk menguatkan fakta sejarah bahwa di situs itu pernah berdiri rumah yang pernah ditempati oleh Douwes Dekker alias Multatuli.
“Pemerintah Belanda akan mendukung usaha pembangunan memorial Multatuli di Rangkasbitung. Tapi setelah BP3 mengeluarkan hasil risetnya. Dan kami sedang menunggu itu, ” kata Paul Peters.
Kepala BP3 Banten Imam Sunaryo melalui telepon mengatakan penelitian terhadap situs tersebut sebenarnya sudah dilakukan sejak beberapa waktu lalu. Penggalian untuk mengetahui pondasi awal rumah pun telah dilakukan oleh peneliti BP3.
“Kami sudah melakukan penelitian dan beberapa bulan lalu pernah mengunjungi situs itu. Lokasinya memang kurang bagus karena terletak di belakang gedung baru rumah sakit, dan kondisi situs rumah Multatuli itu pun memprihatinkan karena digunakan jadi gudang,” kata Imam.
Berdasarkan pengamatan majalah-historia.com di situs rumah Multatuli di Rangkasbitung pekan lalu, belum terlihat kegiatan apa pun di sana. Keramaian hanya terjadi di gedung baru Rumah Sakit Umum dr.Adjidarmo. Sementara, bangunan rumah yang bersejarah itu hanya teronggok bak serpihan masa lalu yang tertinggal di zaman modern yang hiruk pikuk ini.
Artikel terkait
Sumber
Boleh Copy paste, tapi kalau anda tidak keberatan mohon cantumkan sumber dengan linkback ke blog ini.
0 komentar:
Posting Komentar