Kamis, 19 Januari 2012

Mengenang 192 Tahun Multatuli : 150 Tahun Max Havelaar

 

Karya penting Multatuli diperingati di negerinya tapi diabaikan negeri yang pernah dibelanya.

DI Indonesia, tak ada peringatan untuk mengenang 150 buku Max Havelaar karya Multatuli. Di negeri Belanda, pada 2 Februari 2010 lalu, Universitas Amsterdam dan Multatuli Genootschap menggelar pameran “150 tahun Max Havelaar.” Walikota Amsterdam Job Cohen dalam sambutannya mengatakan, “Dan kepada tuan saya mempersembahkan buku ini, Willem III, raja, adipati besar, pangeran dan kaisar dari Insulinde yang cantik dan kaya, Jamrud Khatulistiwa, karena di tempat itu lebih dari 30 juta rakyatmu dianiaya dan diperas atas nama tuan,” ujarnya sebagaimana dikutip Fediya Andina dari Radio Nederland Wereldom roep.

Demikianlah Job Cohen membaca halaman terakhir buku Max Havelaar, sewaktu pembukaan pameran 150 tahun Max Havelaar dengan tajuk “Ini Bukan Roman, Ini Sebuah Gugatan.” Gugatan atas tindak korupsi dan ketidakadilan yang dilakukan para pejabat Indonesia dan Belanda di Lebak, Banten.

Dalam pameran itu juga dipresentasikan penulisan baru buku Max Havelaar dalam bahasa Belanda sehari-hari. Menurut Asosiasi Multatuli, yang memberi proyek penulisan buku itu, hampir 40% isi buku yang lama ditiadakan, karena bahasanya dianggap terlalu sulit dan bertele-tele.

Gijsbert van Es, anggota redaksi harian NRC Handelsblad yang menggubah Max Havelaar menerangkan, tujuan menulisan kembali Max Havelaar terbitan terbaru ini ditujukan untuk generasi muda Belanda sekarang. Menurutnya, ini sebuah buku yang menentang pemerasan, penindasan, dan sebuah buku yang membela pemerintahan yang baik. Karena itu, Max Havelaar masih tetap hidup dan aktual hingga sekarang.

Universitas Amsterdam dan Multatuli Genootschap juga berencana mengajukan permohonan resmi kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) agar buku Max Havellar masuk dalam daftar warisan dunia UNESCO, lembaga PBB yang menangani pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan.

Max Havelaar adalah karya terkemuka Multatuli, yang ia tulis berdasarkan salinan surat-surat ketika dia menjabat sebagai asisten residen di Lebak. Pengerjaannya terbilang cepat, hanya satu bulan. Pada 15 Mei 1860, novel tersebut diluncurkan oleh penerbit De Ruyter, Amsterdam.

Dengan gaya tulisan yang satiris, Multatuli menceritakan budaya berdagang Belanda yang hanya mengeruk keuntungan. Multatuli menggugat pejabat kolonial yang korup dan memuji mereka yang berusaha mendobrak ketimpangan tersebut. 

Di Belanda, novel ini menggoncangkan pandangan umum mengenai tindakan-tindakan pemerintah mereka yang menyengsarakan negeri jajahannya. Max Havelaar dianggap karya penting dalam sejarah sastra Belanda dan selalu menjadi bacaan wajib di sekolah-sekolah, hingga kini. Ia juga diakui sebagai karya sastra dunia. Hermann Hesse, penyair, novelis, dan pelukis Jerman-Swiss yang juga peraih Nobel Sastra, dalam buku Die Welt Bibliothek (Perpustakaan Dunia) memasukkan Max Havelaar dalam deret buku bacaan yang sangat dikaguminya.

Di Indonesia, Max Havelaar dihargai karena inilah untuk kali pertama ada sebuah karya yang dengan lantang membeberkan nasib buruk rakyat yang dijajah. Max Havelaar bercerita tentang sistem tanam paksa yang menindas kaum bumiputra di Lebak, Banten. Di salah satu bagiannya memuat drama tentang Saijah dan Adinda yang sangat menyentuh hati pembaca, sehingga sering kali dikutip dan menjadi topik untuk dipentaskan di panggung.

Sejawaran Han Resink memberi penilaian berbeda tentang keistimewaan novel itu. "Sastra Jawa dan sastra Indonesia belum pernah melahirkan cerita percintaan dari kalangan rakyat jelata. Orang pertama di negeri ini yang pernah menuliskannya, dan bukan tidak berhasil, tak lain dari Multatuli dengan Saija dan Adinda," tulis Pramoedya Ananta Toer dalam “Multatuli”, mengenang pembicaraannya dengan Han Resink. 

Pram adalah anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), lembaga yang terus memperkenalkan Multatuli. Bakri Siregar, rekan Pram di Lekra, sudah mengadaptasi novel Multatuli pada 1954. Dalam sidang para ketua Komite Perdamaian Pusat pada 1959, Pram mengajukan usul agar mengadakan peringatan ulang tahun 140 tahun Mutaltuli secara nasional dan mendirikan patungnya di tempat-tempat ia pernah membikin sejarah. Usul itu diterima. Delegasi dibentuk. Mereka menghadap Presiden Sukarno. Tapi Sukarno tak memberikan jawaban. Pembuatan patung urung dilakukan. Tapi Lekra tetap menggelar peringatan Multatuli. Bahkan pada 1964, Lekra mendirikan Akademi Sastra Multatuli. 

Pada 1972, HB Jassin menerjemahkan Max Havelaar dari bahasa aslinya Belanda ke dalam bahasa Indonesia. Setahun kemudian, Jassin mendapat penghargaan dari Yayasan Prins Bernhard atas karya terjemahannya. Dia diundang untuk tinggal di Belanda selama satu tahun.

Karya Multatuli lainnya yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia adalah Buah Renungan pada 1974. Penerjemahnya Asrul Sani, dengan memilih sebagian dari isi buku Volledige Werken, 7 jilid, karya Multatuli.

Novel Max Havelaar telah diterjemahkan ke dalam 40 bahasa dan difilmkan baik dalam bahasa Belanda maupun Indonesia. Di Indonesia, film Saijah dan Adinda merupakan produksi patungan Indonesia-Belanda, PT Mondial Film dan Fons Rademakers Produktive B.V. Biayanya 3 juta dolar, dengan masa pembuatan dua tahun (1974-1976). Tapi film ini tak lolos sensor. Badan Sensor Film (BSF) beralasan film ini terlalu meremehkan rakyat Banten, yang digambarkan sama sekali tak berkutik terhadap penjajah. BSF menghendaki revisi dengan menambahkan adegan yang menunjukkan semangat perjuangan. Hiswara Darmaputra, produser dan pemilik PT Mondial Film, tak mau kompromi. Saidjah dan Adinda pun tersimpan di gudang BSF. 

Uniknya, kopi yang dibawa Fons Rademakers, sutradara dan pemilik perusahaan film Fons Rademakers Produktive B.V., dibicarakan di mana-mana. Di lima kota besar (Los Angeles, San Francisco, Hong Kong, Johannesburg, dan Teheran) mendapatkan penghargaan. Bahkan pada 1978 film ini dipuji PBB sebagai "film terbaik yang dibuat negara ketiga". Akhirnya, pada 1987, setelah sebelas tahun, BSF meloloskan film itu, dengan mengganti judul Max Havelaar.

Orde Baru, yang sempat melarang film itu, akhirnya juga runtuh karena korupsi –satu topik yang dikupas dalam novel Max Havelaar. Sudah selayaknya masyarakat Indonesia mengapresiasi karya besar ini, untuk kembali melihat betapa merusaknya korupsi dan menderitanya rakyat Indonesia –kini, oleh pemimpinnya sendiri.

Artikel terkait
 


 Sumber

Boleh Copy paste, tapi kalau anda tidak keberatan mohon cantumkan sumber dengan linkback ke blog ini.

0 komentar:

Posting Komentar