Minggu, 22 April 2012

R.A Kartini dan Pejuang Emansipasi Wanita

Merekat Serpihan Retak Sejarah


Ketika sejarah hanya mengenal wajah Kartini sebagai pejuang emansipasi wanita tentu bukan karena dia dilahirkan sebagai wanita Jawa keturunan ningrat yang ingin mendobrak tradisi. Sejarah terlanjur memotret wajah Kartini, bukan Dewi Sartika dari Pasundan, Siti Aisyah We Tenriolle dari Sulawesi Selatan, Sultanah Safiatuddin dari Aceh, atau Rohana dari Padang.
Ketika itu era pemerintahan Hindia Belanda di penghujung abad ke-19 dicemaskan aliran deras nilai-nilai baru holitisme khas Islam yang melahirkan jiwa nasionalisme Islam. Hal ini dinilai Christiaan Snouck Hurgronje sebagai transformasi yang sistematis  sekaligus perusakan struktur kultur lama melalui penetrasi struktur kultur yang baru.
Tentu hal tersebut membuat Batavia cemas. Terlebih dari Sulawesi Selatan, Siti Aisyah We Tenriolle mempesona sejarawan Belanda BF Mathes dengan epos "La-Galigo" yang berjumlah lebih dari 7.000 halaman folio. 
Snouck kian cemas ketika Siti Aisyah mendirikan sekolah moderen yang terbuka untuk pria dan wanita di Tanette pada 1908, sehingga Snouck berulang kali mengunjungi JH Abendanon untuk melampiaskan kecemasan kultural dan meminta agar Direktur Departemen Pendidikan, Agama, dan Kerajinan, JH Abedanon saling silaturahmi dengan RA Kartini.   
"Pembaratan kaum elite pribumi melalui dunia pendidikan adalah langkah penting untuk menjauhkan mereka dari Islam," kata Snouck. 
Strategi yang diterapkan kala itu dengan mempengaruhi lapisan pribumi yang berkebudayaan lebih tinggi dengan asupan adab barat. Setelah itu, akar rumput akan mengikuti jejak pemimpin tradisional mereka. 
"Dalam perlombaan bersaing melawan Islam bisa dipastikan bahwa asosiasi kebudayaan yang ditopang oleh kebudayaan Barat akan keluar sebagai pemenang. Apalagi, jika di dukung oleh Kristenisasi dan pemanfaatan adat." (Politik Islam Hindia Belanda, Dr. Aqib Suminto).
Berkat Abendanon, pada suatu resepsi di Istana Bogor, Kartini berkenalan dengan istri ajudan Gubernur Jenderal Hilda de Booy-Boissevain. Estella Zeehandelaar, seorang aktivis gerakan Sosciaal Democratische Arbeiderspartij (SDAP) mengagumi Kartini. Bahkan Kartini ditampilkan sebagai pendekar wanita sosialis oleh HH van Kol dan penganjur "Haluan Etika" CTh van Deventer.
Pada suatu senja, Maret 1902, di Teluk Batavia, Snouck Hurgronje dan Abendanon menyeringai aneh karena sudah bisa menebak arah angin sejarah Kartini. Kabar angin menyampaikan kalau Kartini meyakini orientalis-kolonialis Belanda itu sebagai sosok suci, berkebudayaan tinggi, dan patut untuk dijadikan kitab kebudayaan.
Snouck tidak bisa menahan senyum membaca surat Kartini untuk Abendanon bertanggal 18 Februari 1902, " Apabila Nyonya bertemu dengan teman Nyonya Dr Snouck Hurgronje, sudikah Nyonya bertanya kepada beliau tentang hal berikut, apakah dalam agama Islam juga ada hukum akil balig seperti terdapat dalam undang-undang bangsa Barat? Ataukah sebaiknya saya memberanikan diri langsung kepada beliau? Saya ingin sekali mengetahui sesuatu tentang hak dan kewajiban perempuan Islam serta anak perempuannya." (Surat-surat kepada Ny. RM Abendanon-Mandri dan Suaminya, hal. 234-235)
Bisa jadi saat itu Kartini tidak mengetahui alur pikir Snouck Hurgronje yang sudah diyakini sebagai pemikir Islam yang mumpuni. Dia murid para Syaikh al-Azhar Kairo dan Snouck berganti nama menjadi Abdul Ghaffar pada 1885, dan dianggap "Mufti Hindia Belanda bergelar Syaikhul Islam Jawa". Padahal sejatinya, seperti ditulis PSJ Van Koningweld dalam Snouck Hurgronje en Islam, Snouck Hurgronje adalah pengikut jejak orientalis Yahudi, Ignaz Goldziher!
Tidak jelas apakah sampai akhir hayatnya Kartini sadar siapa sejatinya Snouck itu. Yang bisa dijelaskan enam tahun setelah Kartini wafat pada 1911, Abendanon menerbitkan kumpulan surat-surat Kartini yang diberi judul Door Duisternis tot Lich. Dua tahun setelah itu pada 27 Juni 1913 didirikan Komite Kartini Fonds yang diketuai CTh van Deventer. 
Kartini barangkali bukan pejuang emansipasi, namun hanya putri sejati yang sedang mencari jati diri yang namanya diharumkan Abendanon dan orientalis Snouck Hurgronje. 
Mengikuti jejak pikir Abendanon dan Snouck Hurgronje di masa kini tak lebih dari langkah salah wanita Indonesia yang berupaya merekat serpihan retak sejarah.

Sumber:
Kartini dan Kartu Kredit Emansipasi, Tandi Skober, Penasihat Kebudayaan Indonesia Police Watch PR - 21 April 2012
 
Boleh Copy paste, tapi kalau anda tidak keberatan mohon cantumkan sumber dengan linkback ke blog ini.

3 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. Tengkiu, bosss berkenan memuat tulisanku hehehehe. Maafin tadi salah komen, jadi saya hapus. Salah copas gituuuuu
    Tabik!

    BalasHapus
  3. Thanks untuk inspirasinya pak tandi........

    BalasHapus