Seorang Indo yang mengkritik bangsanya dan memunculkan gagasan pemerintahan sendiri. |
MULTATULI punya seorang cucu, yang kelak meneruskan semangatnya, bernama Ernest Douwes Dekker –lebih dikenal dengan nama Setiabudi. Persisnya cucu dari Jan, kakak kandungnya. Nama Setiabudi diabadikan sebagai nama jalan di sejumlah kota penting di Indonesia.
Setiabudi bernama asli Ernest François Eugène (EFE) Douwes Dekker. Ia lahir di Pasuruan, Jawa Timur, 8 Oktober 1879. Ia anak ketiga dari pasangan Auguste Henri Edouard Douwes Dekker dan Louisa Margaretha Neumann. Auguste Henri seorang broker bursa efek dan agen bank, sedangkan Louisa Margaretha putri seorang Jerman yang kawin dengan perempuan Jawa. Oleh orang-orang terdekatnya, ia biasa dipanggil Nes.
Nes menempuh pendidikan dasar di Pasuruan, HBS di Surabaya, lalu sekolah elit Gymnasium Willem III di Batavia. Setelah lulus, ia bekerja di perkebunan kopi Soember Doeren di lereng selatan Gunung Semeru, Malang, Jawa Timur. Karena konflik dengan sang manajer, ia dimutasi ke perkebunan gula Padjarakan di Kraksaan dekat Probolinggo. Pada masa itu di Jawa selalu terjadi sengketa pembagian air irigasi antara pabrik gula dan para petani. Sikap Nes: Padjarakan telah merebut hak petani. Ia lalu mengundurkan diri.
Karena menganggur, juga kematian ibunya, DD memutuskan jadi sukarelawan dalam Perang Boer II di Afrika Selatan, melawan Inggris. DD tertangkap lalu dipenjara di kamp Ceylon, Sri Lanka. Ia dipulangkan ke Hindia Belanda pada 1902.
Sikap kritisnya menonjol ketika bekerja sebagai wartawan. “Cara Bagaimana Belanda Paling Cepat Bisa Kehilangan Tanah Jajahannya?”, yang dimuat di suratkabar Belanda Nieuwe Arnhemsche Courant, menyentil penguasa. Kebijakan politis etis tak luput dari sasaran kritiknya. Menurut DD, yang diperlukan adalah pemerintahan sendiri, karena merekalah yang lebih tahu dan mengerti. “Di sini untuk pertama kalinya disuarakan gagasan untuk memerintah diri sendiri,” tulis Adrian B. Lapian dalam “Danudirdja Setiabuddhi 1879-1950”.
DD –sebutan akrab rekan-rekannya seperjuangannya– juga terjun ke kancah politik. Rumahnya di dekat Stovia jadi markas pertemuan para tokoh pergerakan seperti Sutomo dan Tjipto Mangunkusumo. Budi Utomo (BO), organisasi yang diklaim sebagai organisasi nasional pertama, lahir atas bantuan DD. Pada 1912, ia bersama Cipto Mangunkusumo dan Suwandi Suryaningrat mendirikan Indische Partij (Partai Hindia). Tapi setahun kemudian partai itu dibubarkan pemerintah.
Belum berhenti sampai di sini. Akibat tulisan Suwardi di De Expres, “Als ik eens Nederlander was”, ketiganya diasingkan ke Belanda. Alasannya, karena DD dan Cipto mendukung Suwardi. DD memanfaatkan pengasingan ini untuk mengambil program doktor di Universitas Zurich, Swiss, dalam bidang ekonomi. Di Swis DD terlibat konspirasi dengan kelompok revolusioner India, sehingga ditahan di Singapura. Setelah dua tahun di penjara, DD pulang ke Hindia Belanda.
Ia tak kapok. Kini, ia mengkritik Indisch Europeesch Verbond (IEV), organisasi kaum Indo. Dalam tulisan “Njo Indrik” (Sinyo Hendrik), ia mencap IEV sebagai “liga yang konyol dan kekanak-kanakan.” Sejumlah pamflet juga ditulisnya, seperti “Een Natie in de maak” (Suatu bangsa tengah terbentuk) dan “Ons volk en het buitlandsche kapitaal” (Bangsa kita dan modal asing).
Pada 1919, DD terlibat dalam peristiwa protes dan kerusuhan buruh tani di perkebunan tembakau Polanharjo, Klaten. Ia dianggap mengompori para petani sehingga diadili. Hakim memutuskan bebas. Tapi kasus lain menghampirinya: ia dituduh menulis hasutan di suratkabar yang dipimpinnya. Sebagai redaktur De Beweging, ia harus melindungi seorang yang menulis komentar “Membebaskan negeri ini adalah keharusan! Turunkan penguasa asing!” Setelah melalui pembelaan panjang, ia divonis bebas.
Di Bandung, DD mendirikan sekolah Ksatrian Instituut. Ia membuat materi pelajaran. Materi pelajaran sejarah bermuatan anti-kolonial dan pro-Jepang –yang mulai mengembangkan kekuatan militer dan politik di Asia Timur dengan mengekspansi Korea dan Tiongkok. Pada 1933 buku-bukunya dibakar oleh Karesidenan Bandung. Ia juga dilarang mengajar. Ia lantas bekerja di kantor Kamar Dagang Jepang di Jakarta.
Pada 1947, DD menuju Yogyakarta, ibu kota Republik Indonesia –saat itulah ia menanggalkan nama Belandanya jadi Setiabudi dan nama Douwes Dekker diganti Danurdirdja. DD menempati posisi penting di Republik Indonesia. Ia menjabat menteri negara tanpa portofolio dalam Kabinet Sjahrir III yang berusia pendek. Lalu anggota delegasi negosiasi dengan Belanda, konsultan dalam komite bidang keuangan dan ekonomi di delegasi itu, anggota DPA, pengajar di Akademi Ilmu Politik, dan terakhir kepala seksi penulisan sejarah di bawah Kementerian Penerangan.
Ia menghabiskan sisa hidupnya di Bandung, mengurus Ksatrian Institiut. Ia juga menulis autobiografi, 70 Jaar Konsekwent dan merevisi buku sejarah yang pernah dibuatnya. Ia wafat dini hari, 29 Agustus 1950 –di batu nisannya tertulis 28 Agustus 1950– dan dikebumikan di Taman Makan Pahlawan Cikutra, Bandung. Dengan mati ia abadi.
Artikel terkait
Sumber
Boleh Copy paste, tapi kalau anda tidak keberatan mohon cantumkan sumber dengan linkback ke blog ini.
0 komentar:
Posting Komentar