LAHIR di Surakarta, Jateng, 4 Desember 1931, Srihadi Soedarsono adalah seorang pelukis senior Tanah Air yang selalu mengangkat tema kebudayaan dalam setiap karyanya. Dasar pemikiran pribadi yang mantap akan budaya sendiri serta selektif dalam menerima budaya luar menjadi prinsip kuat yang mengakar pada diri pria yang pernah diangkat menjadi Tentara Pelajar (TP) pada usia 14 tahun ini. Sementara itu, kekuatan kepribadian dalam penciptaan karya dan dukungan pemerintah menjadi tahap penyerta yang wajib dilaksanakan.
Perjalanan Srihadi sebagai seorang pelukis sangatlah berliku. Meski mengenyam pendidikan seni rupa secara formal, awal kisah perjalanannya sebagai perupa yang sebenarnya dimulai saat berada di Balai Penerangan TNI Divisi X Solo pada tahun 1945. Di tempat ini, dia sering membuat poster-poster perjuangan.
Sejak saat itu, putra pemilik perusahaan batik yang cukup terkenal, Raden Soedarsono dan Soekatmijah ini lebih banyak ditugasi membuat poster yang pada zaman itu tak kalah pentingnya dalam membakar semangat berjuang.
Tak lama kemudian, dia dipindahkan ke Yogyakarta hingga tahun 1950. Sejak saat itu, Srihadi menetapkan langkahnya menjadi seorang pelukis. Tak lama, karya-karyanya mulai bergantungan dalam berbagai pameran, tunggal, ataupun bersama, di dalam dan luar negeri. Lukisan cat minyak Srihadi sangat khas, yakni ditandai dengan tarikan garis spontan dan kuat, sapuan bidang yang luas, serta yang paling konsisten hingga sekarang adalah dilibatkannya unsur kebudayaan.
Srihadi berusaha menuang suasana ke dalam setiap karyanya. Walau tetap bermula dari bentuk, dia sama sekali tidak formal. "Pergeseran nilai-nilai dapat terjadi dari dalam lingkungan sendiri ataupun akibat benturan dengan nilai asing. Dan pada saat itu, seniman adalah katalisator pergeseran. Kita harus mencapai keseimbangan antara nilai-nilai Barat atau dari mana pun nilai itu berasal dan nilai-nilai warisan kebudayaan kita sendiri," katanya kepada SP, baru-baru ini.
Perlu dimengerti bahwa dunia seni rupa Indonesia, tutur pelukis bergelar master of art ini, telah memberi kontribusi positif bagi kelestarian budaya nusantara. Betapa tidak, mayoritas karya lukis para perupa di negeri ini selalu menghadirkan nilai-nilai budaya bangsa yang telah diakui di lingkup internasional. Namun, akan lebih baik jika pemerintah juga memperhatikan poin penting tersebut agar tradisi yang sudah berjalan tidak luntur.
"Sejak dulu, seniman selalu berjuang sendiri agar karya-karyanya dapat diakui. Sampai sekarang, pemerintah belum peduli akan eksistensi dan produk para seniman Tanah Air. Pada akhirnya, para seniman memilih untuk bereksplorasi dengan cara mereka sendiri," ujarnya mengusik pemerintah.
Mencontoh Tiongkok
Srihadi, yang pernah mendapatkan beberapa penghargaan, salah satunya adalah Fulbright Grant dari Pemerintah Amerika Serikat pada tahun 1980, mengambil Tiongkok sebagai contoh keberhasilan, karena telah melibatkan budaya sendiri dan seni rupa ke dalam posisi yang layak. Bahkan, di negara terpadat di dunia tersebut, seni rupa, khususnya seni lukis, kini menjadi penyumbang devisa terbesar ketiga. Sebagai negara yang memiliki banyak seniman potensial, tak ayal, Indonesia akan mampu mengikuti sukses negeri Tirai Bambu itu.
"Budaya kita adalah kepribadian. Jangan sesekali mengesampingkan budaya bangsa sendiri. Sebab, budaya merupakan pilar bangsa yang dapat mengangkat nilai dan derajat Indonesia di mata dunia," kata pria ramah yang sempat mengenyam pendidikan seni di Balai Pendidikan Universiter Guru Gambar, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia Bandung (sekarang Fakultas Seni Rupa, Institut Teknologi Bandung) ini.
Saat ini, seni rupa Indonesia hadir dalam kemasan yang lebih variatif. Hadirnya para pelukis muda yang berjumlah tidak sedikit seharusnya menjadi kekayaan yang berguna. Jika pemerintah memberi dukungan, sangatlah mungkin seni rupa di negeri ini menjadi berkembang dengan lebih tertata. [ISW/F-4]
sumber: Suara Pembaruan, 20 Januari 2010
Perjalanan Srihadi sebagai seorang pelukis sangatlah berliku. Meski mengenyam pendidikan seni rupa secara formal, awal kisah perjalanannya sebagai perupa yang sebenarnya dimulai saat berada di Balai Penerangan TNI Divisi X Solo pada tahun 1945. Di tempat ini, dia sering membuat poster-poster perjuangan.
Sejak saat itu, putra pemilik perusahaan batik yang cukup terkenal, Raden Soedarsono dan Soekatmijah ini lebih banyak ditugasi membuat poster yang pada zaman itu tak kalah pentingnya dalam membakar semangat berjuang.
Tak lama kemudian, dia dipindahkan ke Yogyakarta hingga tahun 1950. Sejak saat itu, Srihadi menetapkan langkahnya menjadi seorang pelukis. Tak lama, karya-karyanya mulai bergantungan dalam berbagai pameran, tunggal, ataupun bersama, di dalam dan luar negeri. Lukisan cat minyak Srihadi sangat khas, yakni ditandai dengan tarikan garis spontan dan kuat, sapuan bidang yang luas, serta yang paling konsisten hingga sekarang adalah dilibatkannya unsur kebudayaan.
Srihadi berusaha menuang suasana ke dalam setiap karyanya. Walau tetap bermula dari bentuk, dia sama sekali tidak formal. "Pergeseran nilai-nilai dapat terjadi dari dalam lingkungan sendiri ataupun akibat benturan dengan nilai asing. Dan pada saat itu, seniman adalah katalisator pergeseran. Kita harus mencapai keseimbangan antara nilai-nilai Barat atau dari mana pun nilai itu berasal dan nilai-nilai warisan kebudayaan kita sendiri," katanya kepada SP, baru-baru ini.
Perlu dimengerti bahwa dunia seni rupa Indonesia, tutur pelukis bergelar master of art ini, telah memberi kontribusi positif bagi kelestarian budaya nusantara. Betapa tidak, mayoritas karya lukis para perupa di negeri ini selalu menghadirkan nilai-nilai budaya bangsa yang telah diakui di lingkup internasional. Namun, akan lebih baik jika pemerintah juga memperhatikan poin penting tersebut agar tradisi yang sudah berjalan tidak luntur.
"Sejak dulu, seniman selalu berjuang sendiri agar karya-karyanya dapat diakui. Sampai sekarang, pemerintah belum peduli akan eksistensi dan produk para seniman Tanah Air. Pada akhirnya, para seniman memilih untuk bereksplorasi dengan cara mereka sendiri," ujarnya mengusik pemerintah.
Mencontoh Tiongkok
Srihadi, yang pernah mendapatkan beberapa penghargaan, salah satunya adalah Fulbright Grant dari Pemerintah Amerika Serikat pada tahun 1980, mengambil Tiongkok sebagai contoh keberhasilan, karena telah melibatkan budaya sendiri dan seni rupa ke dalam posisi yang layak. Bahkan, di negara terpadat di dunia tersebut, seni rupa, khususnya seni lukis, kini menjadi penyumbang devisa terbesar ketiga. Sebagai negara yang memiliki banyak seniman potensial, tak ayal, Indonesia akan mampu mengikuti sukses negeri Tirai Bambu itu.
"Budaya kita adalah kepribadian. Jangan sesekali mengesampingkan budaya bangsa sendiri. Sebab, budaya merupakan pilar bangsa yang dapat mengangkat nilai dan derajat Indonesia di mata dunia," kata pria ramah yang sempat mengenyam pendidikan seni di Balai Pendidikan Universiter Guru Gambar, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia Bandung (sekarang Fakultas Seni Rupa, Institut Teknologi Bandung) ini.
Saat ini, seni rupa Indonesia hadir dalam kemasan yang lebih variatif. Hadirnya para pelukis muda yang berjumlah tidak sedikit seharusnya menjadi kekayaan yang berguna. Jika pemerintah memberi dukungan, sangatlah mungkin seni rupa di negeri ini menjadi berkembang dengan lebih tertata. [ISW/F-4]
sumber: Suara Pembaruan, 20 Januari 2010
Boleh Copy paste, tapi kalau anda tidak keberatan mohon cantumkan sumber dengan linkback ke blog ini.
0 komentar:
Posting Komentar