• Judul: Etika Lingkungan Hidup
• Penulis: A. Sonny Keraf
• Penerbit: Penerbit Buku Kompas
• Cetakan: Oktober, 2010
• Tebal: xvi + 408 halaman
• ISBN: 978-979-709-526-0
Sugiarto Sargo
Krisis lingkungan hidup yang kita alami dewasa ini tidak hanya akibat dari meledaknya populasi dan perkembangan teknologi eksploitasi, tetapi secara mendasar bersumber pada kesalahan fundamental-filosofis dalam pemahaman atau cara pandang manusia mengenai dirinya, alam, dan tempat manusia di dalam keseluruhan ekosistem.
Kesalahan cara pandang ini bersumber dari etika antroposentrisme, yang memandang manusia sebagai pusat dari alam semesta, bahwa hanya manusia yang mempunyai nilai, sementara alam dan segala isinya sekadar alat bagi pemuasan kepentingan dan kebutuhan hidup manusia.
Bertolak dari kondisi tersebut, penulis buku ini menekankan perlunya suatu etika baru yang tidak hanya berlaku untuk interaksi antarmanusia, tetapi juga interaksi manusia dengan semua kehidupan di bumi. Suatu etika yang yang memandang alam sebagai bernilai pada dirinya sendiri dan pantas diperlakukan secara bermoral. Dengan etika baru ini, manusia dituntut untuk menjaga dan melindungi alam beserta segala isinya. Alam dan seluruh isinya tidak sekadar bernilai instrumental-ekonomis untuk dieksploitasi bagi kepentingan manusia.
Sebenarnya, khazanah filosofis telah mencoba memberikan alternatif terhadap etika antroposentrisme. Alternatif itu, misalnya munculnya sentientisme, yang mengakui bahwa segenap ciptaan itu mempunyai perasaan, yang dapat merasakan kesenangan dan penderitaan; biosentrisme, yang mengakui kedudukan moral semua makhluk hidup; dan ekosentrisme, yang memandang ekosistem-ekosistem dan biosfer mempunyai arti moral yang tidak tergantung kepada arti para anggotanya.
Untuk menandingi keangkuhan antroposentrisme, Sonny Keraf juga memberikan pemahaman dasar tentang paradigma baru di bidang etika lingkungan yang menentukan pola perilaku manusia dalam kaitannya dengan lingkungan hidup, yaitu biosentrisme, ekosentrisme, hak asasi alam, dan ekofeminisme.
Berdasarkan teori-teori etika tersebut, mantan Menteri Lingkungan Hidup ini membangun konsep baru bagi etika lingkungan hidup. Etika lingkungan hidup di sini harus dipahami sebagai disiplin ilmu dan sekaligus konsep tata kelola yang berbicara mengenai norma dan kaidah moral yang mengatur perilaku manusia, serta nilai dan prinsip moral yang menjiwai perilaku manusia dalam berhubungan dengan alam.
9 prinsip etika lingkungan
Keberhasilan etika lingkungan melestarikan fungsi lingkungan hidup dan sumber daya yang terkandung di dalamnya tidak cukup bergantung pada perubahan perilaku individu, tetapi juga harus ada pengaturan sistem sosial dan politik yang berwawasan lingkungan. Oleh karena itu, Keraf mencoba merumuskan sembilan prinsip etika lingkungan sebagai dasar pengembangan lebih lanjut dalam kaitannya kehidupan berbangsa dan bernegara serta hubungan antarbangsa (globalisasi).
Pertama, sikap hormat terhadap alam. Manusia sebagai anggota komunitas ekologis harus menghargai dan menghormati setiap kehidupan dan spesies dalam komunitas ekologis tersebut. Perwujudan nyatanya, manusia perlu memelihara, merawat, menjaga, melindungi, dan melestarikan alam beserta seluruh isinya. Kedua, prinsip tanggung jawab. Manusia dituntut untuk mengambil prakarsa, usaha, kebijakan, dan tindakan bersama secara nyata untuk menjaga alam semesta dengan segala isinya. Berarti, kelestarian dan kerusakan alam merupakan tanggung jawab bersama seluruh umat manusia.
Ketiga, solidaritas kosmis. Prinsip ini membangkitkan rasa sepenanggungan dan mendorong manusia untuk tidak merusak dan mencemari alam, seperti halnya tidak akan merusak kehidupannya sendiri. Prinsip ini berfungsi mengontrol perilaku manusia dalam batas-batas keseimbangan kosmis.
Keempat, prinsip kasih sayang dan kepedulian terhadap alam. Prinsip ini menghapus sifat diskriminasi dan dominasi manusia terhadap makhluk lainnya. Kasih sayang dan kepedulian menyadarkan bahwa semua makhluk hidup di alam ini mempunyai hak untuk dilindungi, dipelihara, tidak disakiti, dan dirawat. Kelima, prinsip ”No Harm”. Prinsip ini menjadi dasar perilaku manusia untuk tidak melakukan tindakan yang merugikan atau mengancam eksistensi makhluk hidup lain, sebagaimana manusia tidak dibenarkan secara moral untuk melakukan tindakan-tindakan yang merugikan sesama manusia.
Keenam, prinsip hidup sederhana dan selaras dengan alam. Prinsip ini melandasi pola hidup baru, menggantikan pola hidup yang materialistis, konsumtif, dan eksploitatif. Ketujuh, prinsip keadilan. Prinsip ini memasuki wilayah politik ekologi, di mana pemerintah dituntut untuk membuka peluang dan akses yang sama bagi semua kelompok masyarakat dalam ikut menentukan kebijakan publik lingkungan hidup dan dalam memanfaatkan sumber daya alam serta jasa lingkungan.
Kedelapan, prinsip demokrasi. Prinsip ini selaras dengan hakikat alam, yaitu keanekaragaman dan pluralitas. Paradigma pembangunan berkelanjutan hanya mungkin diterima kalau pembangunan dipahami sebagai berdimensi plural. Kesembilan, prinsip integritas moral. Prinsip ini sangat berkaitan dengan integritas moral pejabat publik. Selama pejabat publik tidak mau bertanggung jawab atas kebijakan dan tindakannya yang merugikan lingkungan hidup, lingkungan hidup akan tetap dirugikan.
Gagasan tentang etika lingkungan yang cukup radikal ini sebenarnya sudah disajikan penulis pada buku dengan judul yang sama edisi pertama yang terbit pada 2002. Sejak saat itu buku ini menjadi salah satu referensi penting wacana dan perbincangan ilmiah pendekatan etis terhadap pengelolaan lingkungan hidup. Sampai saat ini gagasan dalam buku ini masih sangat relevan karena dengan instrumen teknik lingkungan, ekonomi lingkungan, dan politik lingkungan belum juga mampu menyelesaikan krisis lingkungan. Apalagi, dalam buku revisi ini selain beberapa revisi teknis juga ditambahkan satu bab baru mengenai Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagai pengganti UU No 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Dengan demikian, diharapkan etika lingkungan tidak lagi sekadar berhenti menjadi perbincangan teoretis dan normatif, tetapi dapat menjiwai dan terimplementasi secara konkret karena didukung oleh sanksi hukum sebagaimana diatur di dalam UU 32/2009 tersebut.
Oleh : Sugiarto Sargo, Pengajar Pascasarjana Universitas Nusa Bangsa, Bogor
Sumber: Kompas, Minggu, 20 Maret 2011
Boleh Copy paste, tapi kalau anda tidak keberatan mohon cantumkan sumber dengan linkback ke blog ini.
0 komentar:
Posting Komentar