Rabu, 01 Februari 2012

Semar Bukan Tokoh Impor

Dia seorang yang Kontroversial. Bukan seorang penasehat tetapi sering dimintai pendapat. Dianggap lemah tetapi di saat kritis muncul sebagai penyelamat. Pintar dialing-aling bodoh, gagah dialing-aling lemah. Padahal dia hanya rakyat biasa hidup di desa bersama masyarakat golongan bawah. Orang menganggapnya hanya sebagai hamba atau pelayan pada keluarga terhormat.

Keberadaannya hanya sebagai figur tambahan yang tidak ada kaitannya dengan jalan cerita. Meskipun demikian kehadirannya mempunyai daya pesona tersendiri sebagai artis penghibur di kala sendu, pengundang tawa dikala duka. Dibalik itu semua sesungguhnya dia adalah penjelmaan dewa bertugas mengemong para satria Pandawa pemeran inti kisah Mahabarata. Anehnya, walai dia bersatu dengan keluarga Pandawa namanya tidak tercantum dalam Mahabarata sehingga menimbulkan tanda tanya, siapa dan dari mana Ki Semar itu? Untuk mengungkapnya kita tinjau dari dua sudut pengertian.
Ditinjau dari sejarah perjalanan hidupnya di alam pewayangan, Semar dan anak-anaknya hidup dan mengabdi sejak generasi Sakutrem, Sakri, Manumayasa, Palasara hingga Abiasa dan Arjuna tanpa mengalami pergantian generasi sebagai pengabdi.
Dalam pengabdian dari generasi ke generasi yang begitu panjang, dia bersama anak-anaknya telah menjadi saksi hidup tentang kebangkitan, kemegahan sekaligus keruntuhan generasi masa silam. Ia juga telah mengalami, merasakan dan menyaksikan semua peristiwa yang terjadi di masa itu. Pelbagai tempat telah disinggahi, berbagai peristiwa telah dialami, sehingga betapa luas dan lengkapnya pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki serta mengetahui seluk-beluk kehidupan di masa lalu.
Karena itulah rupanya Ki Semar dan anak-anaknya dipanggil dengan sebutan “Panakawan”. Pana artinya Tahu/mengetahui. Tetapi bukan sekadar tahu sepintas lalu, melainkan mengetahui sampai pada tingkat yang sedalam-dalamnya. Sedang Kawan adalah Teman, tetapi juga bukan sekedar teman biasa, melainkan teman yang memiliki pengalaman dan pengetahuan yang luas dan lengkap sampai pada tingkat yang dijadikan sebagai teman hidupnya, Ini melambangkan bahwa hidup tanpa pengetahuan bagai damar tanpa sinar.
Kesimpulan pertama Panakawan adalah teman yang baik yang memiliki pengetahuan dan pengalaman yang luas dan lengkap serta mendalam. Sedang kesimpulan kedua bukan semata-mata ditujukan kepada individunya, tetapi kepada ilmu pengetahuannya dan pengetahuan itu dapat diartikan sebagai Pandangan hidup atau falsafah hidup.

Dengan demikian Panakawan seolah Pewaris dan pemelihara yang konsekuen terhadap nilai-nilai sejarah dan peradaban manusia untuk masa lampau, masa yang sedang dijalani dan masa yang akan datang. Sementara pihak ada yang mentafsirkan Semar adalah tokoh misterius antara Ada (berwujud konkret) dan tidak ada (Abstrak). Dalam pengertian abstrak Ki Semar dilukiskan dalam wujud yang tidak “berbangun”, tidak mirip laki-laki atau perempua, serba tidak jelas atau “samar-samar” sehingga menimbulkan teka-teki bersifat rahasia atau gaib (Dr. Seno Sastroamidjojo). Perutnya besar, berwajah putih, badannya hitam dan berkuncung di atas kepala. Kesemua itu bukan tanpa arti.
Wajah putih lambang kesucian bahwa manusia harus berusaha membersihkan diri (hati), menghindari dari perbuatan buruk. Badan hitam pertanda teguh iman tak tergoyahkan oleh ajakan syetan. Berkuncung lurus menunjuk ke atas harus mawas diri eling kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Dengan demikian Semar dapat membedakan mana yang benar dan mana yang salah, mana yang baik dan mana yang buruk dan apa pun yang terjadi ia terima dengan sabar dan ikhlas, pertanda ia telah mengenal “Jati Diri”, karena itu ia mampu mengendalikan diri.
Menurut Ki Resi Wahono dalam bukunya Takbir mahabarata, Ki Semar identik dengan nama Kyai Lurah Nayataka. Naya artinya Sinar atau Cahaya. Sedan Taka mempunyai arti Pati atau Mati. Jadi Nayataka mempunyai arti “Sinarnya Pati” atau Dhat Luhur yang sudah terluput dari pengaruh badan jasmani terbebas dari segala keinginan duniawi. Jika ditinjau dari nama Nayataka artinya seorang yang luhur derajatnya dan martabatnya.
Semar juga bergelar Hyang Maya. Kata “maya” artinya tidak berwujud tetap atau selalu berganti-ganti sifat, tidak tentu jenis kelaminnya laki-laki atau perempuan. Maka dapat ditarik kesimpulan, bahwa Semar bukanlah manusia wajar melainkan nama yang memperlambangkan unsur yang selalu mengikuti dan melindungi seseorang atau perlambang sebagai KAWAN. Pengertian yang lebih dalam adalah lambang SUKSMA, ROH atau JIWA yang berada di dalam diri kita semua. Secara filosofis mengandung arti hubungan antara keluarga Pandawa dengan Panakawan. Karena itu, kehadirannya sebagai pengasuh merupakan sosial kontrol memberi koreksi, reaksi dan kritik terhadap para satria Pandawa memperlambangkan hidupnya demokrasi.
Akan tetapi kenyataan sering membuktikan dalam cerita wayang, bahwa koreksi atau reaksi dan kritik Panakawan sering diremehkan, bahkan tak jarang mendapat perlakuan yang menyakitkan dari satria yang diasuhnya. Hal ini melambangkan bahwa, meskipun Pandawa merupakan mythos kebenaran, tetapi mereka tidak bersih dari kesalahan. Kebenaran bukan monopoli mereka yang masih bisa berbuat salah. Sebagai akibatnya, apabila Pandawa berpisah dari Panakawan, Pandawa akan kehilangan kontrol kebenaranm sebaliknya Panakawan pun akan merasa prihatin. Hal ini melambangkan apabila manusia mengingkari kebenaran, ia akan jatuh ke dalam jurang kenistaan.

Demikianlah kehadiran Ki Semar dalam setiap lakon meski tidak ada kaitannya dengan jalan cerita, namun mempunyai daya tarik dan pesona sendiri. Akan terasa hambar pagelaran wayang jika tidak menghadiran kelompok Panakawan. Seringkali dalam lakon wayang jika Pandawa menghadapi kesulitan yang tidak dapat diatasi, maka di saat itu Ki Semar muncul sebagai penyelamat walau kadang-kadang tidak secara terang-terangan. Selain keterangan diatas tentang Semar, tidak mengesampingkan adanya penelitian dari segi lain.
Ditinjau dari segi kebudayaan secara luas, ketika orang-orang Hindu datang di Indonesia menyebarkan kebudayaannya, antara lain agama dan kesustraan, kebudayan kita sudah cukup tinggi, termasuk seni pedalangannya dikenal dengan sebutan “Juru Barat” (860 M). Tetapi pengaruh Hindu telah menimbulkan proses akulturasi antara kebudayaan pribumi dengan kebudayaan Hindu yang disesuaikan dengan alam pikiran dan pola kebudayaan pribumi, di atanranya adalah dua epos besar sastra Hindu; Ramayana dan Mahabarata. Yang kemudian menjadi sumber pokok cerita pedalangan.
Dari akulturasi kemudian muncul apa yang disebu Sinkretisme. Sinkretisme adalah bentuk reinterpretasi yang menunjukan berubahnya segala aspek dalam kebudayaan, yaitu suatu proses yang menyelarasakan anasir-anasir tua dalam kebudayaan terhadap unsur-unsur baru atau diubah dengan nilai-nilai baru.
Maka sangat mungkin Semar termasuk dalam kategori sinkretisme, karena tokoh Panakawan adalah unsur budaya pribumi yang dalam proses akulturasi kedudukannya tidak di bawah unsur budaya Hindu seperti Batara Guru (Syiwa), Indra, Brahma dan lain-lain. Bahkan dalam pewayangan Semar mempunyai kedudukan yang lebih tinggi serta memegang supremasi hegemoni.
Dengan demikian jelas kiranya Semar bukanlah tokoh produk budaya yang diimpor lewat Mahabarata atau Ramayana, tetapi asli hasil produk pemikiran para cendekia budaya Indonesia.
Sumber Boleh Copy paste, tapi kalau anda tidak keberatan mohon cantumkan sumber dengan linkback ke blog ini.

0 komentar:

Posting Komentar